Sunday 29 October 2017

Idiologi Tunggal Partai-partai, Pancasila!!!

Era reformasi mulai merebak setelah badai krisis di Tahun 1998. Diranah politikpun terjadi perubahan yang cukup fundament. Ketika konon, negeri ini disetarakan mengkiblat demokrasi ala barat tetapi berasaskan multipartai. Memang suatu perpolitikan yang eksentrik alias teraneh didunia. Karena di Amerika sendiri pada prinsipnya hanya bisa mengenal sampai dua partai, kita bahkan hingga bisa berlipat-lipat dari jumlah tersebut. Angka yang menakjubkan.

Meski banyak partai, tetapi pintu masuknya jelas, yaitu asas pancasila. Siapapun, berasal dari akar kepercayaan manapun dari daerah atau golongan manapun, cuman satu yang ditanyakan. Pancasila atau gak? Jika tidak, maka jelas rumusannya. Udah, stop gak usah ikut-ikutan!!!

Entah dilevel mana, jelas pancasila tetap menjadi produk yang sangat laku. Dengan adanya aturan idiologi partai, tentu para partai-yer akan sibuk mengkait-kaitkan dengan yang namanya pancasila. Jika pancasila diposisikan dalam tingkat formalitas. Lantas bagaimanakah seharusnya pancasila itu diletakkan? Tentu letaknya ada pada posisi yang tepat, posisi yang seperti apakah itu? Saat ini, hanya para partai-yer sendirilah yang tahu dimanakah pancasila itu diletakkan! Tanyalah pada mereka!!!


Dari : Pangeran Pancasari, Okt 2017

Monday 23 October 2017

Pesan Mbah Maridjan untuk Mountaineering (Pendakian Gunung)

Suasana sudah lebih adem saat memasuki kawasan Cankringan. Memasuki jalan tanah agak curam dan sedikit licin harus hati-hati agar gak nyasar di Rumah Mbah Maridjan dengan cara meluncur. Akhirnya tiba di rumah sederhana Mbah Maridjan dengan dengan selamat. Langsung menuju dapur yang perapiannya masih menggunakan "luweng" (tungku api dari batu bata dan bahan bakarnya kayu bakar). Datang-datang tanpa basa-basi langsung ndepis (posisi jongkok yang enak) di depan perapian disamping Mbah Maridjan yang sedang ngurusi perapian. "Mbah, adem" hanya bilang gitu. "Lha yo neng nggunung bedo karo neng ndeso (Lha iya di gunung, beda dengan di desa (mu))" jawab Mbah Maridjan sembari masih sibuk dengan perapian. Selesai ngurusi perapian simbah berkata, "Sing panas kuwi, gawe kopi, mumpung bar umep (Kalau mau panas itu, bikin kopi mumpung airnya baru saja mendidih)". "Wah, cocok mbah, simbah arep ngopi ora (Wah, cocok mbah, simbah mau minum kopi juga)?" kembali nanya ke simbah. "Aku yo mentas ngawe, di joki neh wae, mondo kenthel je mau, sajakke lampung asli ki (Aku tadi juga habis bikin kopi, di tambahin air saja, tadi agak kekethalan, sepertinya kopi lampung asli)!" Jawab Mbah Maridjan.


Udara yang dingin sudah tak begitu terasa, karena perapian dan minuman kopi panas. "Mbok, ngobrol, ngelmune simbah, tak melok krungu (Mbok, membincangkan ilmunya simbah, tak ikut mendengarkan)!" Seorang teman memberi saran sarasehan di depan luweng. "Wo, injih mbah, Nak munggah gunung ki kudu pripun (wo, iya mbah, kalau naik gunung itu harus bagaimana)?" Akhirnya terlontar pertanyaan yang bagus juga. "Sing penting biso moco kahanan, terus bisa empan papan, cukup kuwi sangune, methi keslametan (Yang penting bisa membaca keadaan, terus bisa menempatkan diri, cukup itu bekalnya, pasti berada dalam keselamatan)!" Mbah Maridjan menjelaskan singkat. "Gek, takon meneh!" Teman menyuruh untuk tanya lagi. "Ming niku mbah (cuman itu mbah)?" bertanya juga. "Ojo lali njaluk pinayungan marang gusti (jangan lupa mohon perlindungan kepada tuhan)!" Mbah Maridjan menambahi. "Simbah ki ora bisa crito akeh koyo liya-liya-ne (Simbah tidak bisa banyak bercerita banyak seperti yang lain-lain)!"  Mbah Maridjan menutup penjelasannya. 

Begitulah kisah kenangan sekitar Tahun 1998 di kediaman Mbah Maridjan. Saat itu hadir pula Ketua Mapala berbendera orange yang akan menggelar acara jelajah hutan dan teman ex-THA. 

Salam rimba gunung!!!

Monday 16 October 2017

Pranoto Mongso sebagai Karya Sastra Jawa

Entah sejak kapan Pranoto Mongso menjadi legenda dalam bidang pertanian khususnya petani jawa. Seiring perjalanan waktu, dari tahun ketahun seakan sang legenda kehilangan pamornya. Popularitasnya seperti menurun, padahal dulu-dulunya tidak. Dulu, meski tidak disebut, dalam bincangan petani, baik dikebun, tegalan, sawah, ataupun sambil minum wadang jahe, Pranoto Mongso masuk dalam bahasan mereka. Pranoto Mongso telah masuk berurat berakar pada tatanan kehidupan petani jawa. Lantas kenapa sang legenda berangsur menghilang?

Ada beberapa hal yang bisa dimengerti. Diantaranya yaitu basis ilmu pengetahuan (pertanian kita) justru dari barat, padahal.... Padahal kitalah yang petani! Ya, bolehlah petani belajar dari pencerita tani untuk memperkaya khsanah ilmunya. Terlebih lagi, yang namanya primbon itu identik dengan jampi-jampi. Apalagi ada "plesetan"-nya primbon TOGEL. Kalau mau baca primbon mikirnya jadi seperti mau belajar perdukunan atau menemukan angka jitu yang bisa tembus. Meski sebenarnya, Pranoto Mongso rumusannya ditulis dalam bahasa sastra. Jadi Pranoto Mongso itu adalah produk kasusastran. Maka yang terjadi adalah mirip dalam cerita kungfu. Ada sebuah buku "lecek" (tampilannya gak bagus), penjualnya gak meyakinkan, murah lagi! Jika dilihat isinya hanya seperti gambar-gambar gerakan  biasa. Benar-benar buku yang tak berarti dan murahan. Berbeda jika buku tersebut berada ditangan orang yang "chi"-nya terbuka dan punya dasar "gin-kang" yang bagus maka buku itu akan menjadi buku yang hebat. Konon buku itu adalah buku "Jurus Tapak Budha" yang asli seperti ilmunya Pendeta Chiriku. Yah begitulah mengenai Pranoto Mongso itu, sesuatu yang bisa dijadikan panduan dalam menjalankan usaha tani. Namun sayangnya, " aku bukan pujangga, jadi tak bisa baca sastra".

Dikutip dari : Buku Ma Ga Ba Tha Nga, Pangeran Pancasari, 2008

Saturday 14 October 2017

PRANOTO MONGSO dalam Pertanian Modern, masih relevankah?

Pranoto Mongso satu istilah yang dikenal dalam dunia pertanian. Keadaannya sekarang ini, dalam pertanian modern terlihat seperti telah usang. Katanya musim sudah tiada menentu, masih relavankah Pranoto Mongso?

Pranoto mongso sebagai bagian dari khasanah ilmu asli jawa, di kalangan Masyarakat Jawa sendiri sudah agak jarang disebut. Seakan tidak perduli atau bahkan tidak tahu. Bagaimana masyarakat luar akan mengenalnya? Terlebih lagi pengetahuan tentang pranoto mongso itu sendiri ditulis dalam kitab primbon jawa. Tentunya yang terbayang adalah sesuatu yang bernuansa mistis atau berbau klenik. Apakah demikian yang sebenarnya?

Dulu, sering kita dengar kalimat "musim tanam telah tiba". Kalimat itu sekarang ini telah jarang didengar. Karena seakan musim tanam sudah tiada menentu. Apakah demikian? Mengapa ada kalimat musim tanam telah tiba?