Wednesday 13 August 2014

Pangeran Pancasari : Ketahanan Pangan di Bumi Mataram

008. JEJAK-JEJAK KETAHANAN PANGAN DIBUMI MATARAM

Ketahanan Pangan, Istilah ini mulai populer sejak tahun 2005. Mengingat betapa pentingnya masalah ini memasuki tahun 2009 lahirlah Badan Ketahanan Pangan (BKP) di Propinsi DIY. BKP ditingkat pusat merupakan lembaga tersendiri yang terpisah dengan Badan Penyuluhan. Sementara itu, BKP di Prop. DIY digabung dengan Komisi Penyuluhan Pertanian sehingga menjadi Badan Ketahanan Pangan Dan Penyuluhan (BKPP). BKPP Prop. DIY berada dibawah koordinasi Kepala Dinas Pertanian Prop. DIY.

Seberapa jauhkah ketahanan pangan sudah dapat diwujudkan di Prop. DIY? Mungkin masih banyak hal yang harus dilakukan agar ketahanan pangan bisa benar-benar mantap. Namun marilah kita tengok terlebih dahulu potret ketahanan pangan dimasa lalu. Apakah konsep ketahanan pangan juga sudah diterapkan?

Jogja selalu adem ayem, dalam suasana apapun. Mungkin keadaan ini adalah sebuah indikasi bahwa ketahanan pangan telah terwujud dan tertanam secara kuat sejak dahulu. Pedukuhan Mataram bisa dibilang sebagai daerah yang kecil jika dibandingkan dengan wilayah kerajaan pajang secara keseluruhan. Tanah yang subur merupakan anugrah alam yang luar biasa. Dengan modal inilah Mataram tempo dulu dapat berkembang dengan pesat. perkembangan tersebut tentu tak terlepas dari konsep ketahanan pangan. Mataram terbukti dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Keadaan inipun terus dapat bertahan hingga Mataram telah dibagi menjadi dua. Kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat mewakili wilayah daerah Mataram tempo dulu sejak didirikannya Mataram oleh Kanjeng Penembahan Senopati. 

Roda sejarah bergulir, tiba saat untuk memutuskan apakah Jogja akan berdiri sendiri ataukah bergabung dengan NKRI. Ketahanan pangan sebagai bagian yang mendasar dari persoalan ekonomi juga menjadi sebuah pertimbangan. Akan tetapi karena jiwa nasionalisme sejati yang dimiliki oleh Kanjeng Sinuwun HB IX maka Jogja memilih untuk bergabung dengan NKRI. Beliau punya pandangan bahwa masyarakat akan lebih makmur jika bergabung dengan NKRI. Meskipun sejarah dimasa lalu telah membuktikan Mataram kecil dapat bersinar terang di Bumi Jawa.  Tetapi fakta lainnya adalah mataram juga menjadi besar setelah digabung dengan pajang. Sedikit gambaran yang terjadi pada waktu itu,"Tidak Dimas, Ngayogyakarto akan menjadi bagian dari NKRI dan tunduk kepada aturan-aturan yang ada," sabda Sinuwun HB IX. "Inggih Kangmas, Jogja pancen istimewa tenan," Balas Paduka Yang Mulia Presiden RI Bung Karno. Begitulah kira-kira yang terjadi, kenangan sejarah ini adalah sebuah prasasti yang mengisyaratkan bahwa soal ketahanan pangan  juga menjadi dasar pijakan untuk membentuk sebuah tatanan pemerintahan. Dengan demikian, maka pemerintahan yang gagal mewujudkan ketahanan pangan adalah pemerintahan yang gagal.

Mari kita simak jejak-jejak konsep ketahanan pangan dimasa lalu. Gunung Kidul adalah sebuah daerah yang menarik untuk diamati. Kebiasaan masyarakat menanam singkong kemudian mengolahnya menjadi gaplek merupakan hal yang unik. Kenapa harus singkong bukan tanaman yang lainnya? Kenapa harus menjadi gaplek bukan menjadi bahan yang lain? Seperti kebiasaan sebagian petani di Daerah Kediri, sebagian dari mereka gemar mengolah singkong menjadi tepung tapioka? Ternyata masyarakat gemar mengkonsumsi makanan berbahan dari singkong maupun gaplek. Hasilnya adalah didaerah yang tandus dan kering tersebut masyarakat dapat survive. Sehingga kendala utamanya bukan karena kurang pangan tetapi yang bisa terjadi adalah kekurangan air jika kemarau terlalu panjang. Sebuah prestasi yang luar biasa. Sesuatu yang sederhana namun hebat. 

Sebuah potret ketahanan pangan yang mantap yang terjadi di Gunung Kidul apakah terjadi dengan sendirinya? Apakah begitu saja masyarakat mengenal singkong kemudian gemar mengkonsumsinya? 

Kita simak dulu daerah lain yang masih banyak yang bisa menjadi saksi. Lahan pasir di Kabupaten Kulon Progo dahulu, sekitar tahun 90-an sejauh mata memandang adalah hamparan pasir. Daerah bak gurun pasir hanya tanaman rumput dan pohon pandan saja yang tumbuh. Wajah gurun pasir tersebut sekarang telah berubah menjadi areal pertanian yang luas. Kulon Progo menjadi salah satu sentra cabe keriting di Jawa. Apakah kawasan usaha tani tersebut muncul sendiri? Demikian juga dengan lahan pantai di antara Kali Opak dan Kali Progo yang berada di Kabupaten Bantul. Daerah Patehan (Goa Cemara) menjadi daerah  penghasil ubi  lahan pasir dengan kualitas yuhuuuuu. Kenapa masyarakat disana gemar menanam ubi?

Ternyata... Sebenarnya keberadaan pohon pandan yang tumbuh dipantaipun ada ceritanya. Ada penyebabnya yang membuat tanaman pandan ditanam dilahan pasir. Demikian juga dengan keberadaan areal pertanian lahan pasir di Kabupaten Kulon Progo juga ada kisahnya. Sejak lahan pasir dipandang sebagai potensi ekonomi maka berbagai program perintisan usaha telah dijalan pemerintah. Tujuannya adalah agar roda perekonomian di wilayah pesisir dapat berjalan lebih baik. Namun dalam beberapa waktu, belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Dengan peran serta dari para pejuang perintis maka upaya pemerintah menjadi lebih cepat terlaksana sesuai yang diharapkan. Sesuatu yang dicatat disini bahwa kawasan usaha tani yang terbentang di Lahan Pasir Kabupaten Kulon progo tidak tercipta dengan sendirinya. Hal itu melalui proses yang cukup panjang.

Tentunya keberadaan singkong di Gunung Kidul sudah pasti juga melalui proses yang panjang.  Singkong Gunung Kidul merupakan warisan konsep ketahanan pangan yang sudah ada sejak dahulu. Bisa jadi adalah warisan dari Kerajaan Mataram. Meski hal ini hanyalah dugaan saja, mengingat bahwa Gunung Kidul adalah sebuah daerah tua dengan misteri peradaban masa lalunya. 

(Bersambung)

(Dikutip dari : Buku Ma Ga Ba Tha Nga (Pangeran Pancasari, 2008))

Monday 4 August 2014

Pangeran Pancasari : Kesederhanaan Membebaskan dari Samsara (Ajaran Sang Budha Gautama)

Ada banyak tauladan tentang kesederhanaan yang bisa ditiru. Tentunya, sebagai umat Islam Kanjeng Nabi Muhammad adalah sebagai tokoh panutan. Namun pada kesempatan ini saya sebagai seorang muslim akan belajar kesederhanaan dari Sang Budha Gautama. Pelajaran ini akan saya mulai dengan sebuah pertanyaan tentang Sang Budha Gautama. Pertanyaan saya, mengapa Sang Budha Gautama terlahir sebagai seorang pangeran? Mengapa Pangeran Sidharta tidak terlahir sebagai seorang rakyat jelata saja?

Masa dimana sebelum Sang Budha terlahir adalah masa seperti sekarang ini. penghormatan, penghargaan dan pengharapan ditujukan kepada kenikmatan hidup semata. Jabatan dan pangkat menduduki tempat yang tinggi. Masyarakat lebih membanggakan barang-barang yang dimilikinya daripada kualitas hidup yang berupa budi pekerti yang luhur. Pertemuan-pertemuan untuk menjalin keakraban atau jika saya memakai istilah Sang Budha Gautama pertemuan dilakukan untuk meningkatkan kualitas sangha. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, sebuah kemerosotan moral. Pertemuan dijadikan ajang pamer harta benda, jabatan, dan berbagai macam kenikmatan duniawi. Sehingga buah dari pertemuan yang terjadi adalah perlombaan untuk mengejar materi, pergunjingan yang melahirkan fitnah, menyuburkan kesombongan serta keangkuhan. Sebuah tatanan kehidupan yang telah menjauhi damma. Keadaan yang seperti itulah yang menyebabkan terlahirnya Sang Budha kedunia sebagai manusia. Sang Budha mempunyai tugas utama untuk mengajarkan tata kehidupan baru sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan terlahir sebagai seorang pangeran maka Sang Budha dapat memberikan contoh berdasarkan pengalamannya sendiri. Sebuah pengalaman bergelimang harta pernah dialaminya. Tetapi ternyata hal itu tak membuatnya terbebas dari rasa gelisah. Kegelisahan yang disebabkan karena semua fasilitas yang ada tak dapat membebaskan dirinya dari penyakit, menjadi tua dan mati. Akhirnya, Pangeran Sidharta meninggalkan semua itu untuk mencari obat atas segala derita kegelisahan yang dialaminya. Pangeran Sidhartapun, akhirnya mendapatkan obat yang diinginkanya. Didapatkan kesimpulan bahwa mengejar kenikmatan hidup sekedar untuk memperturutkan hawa nafsu adalah suatu kesia-siaan hidup, karena kegelisahan akan tetap melanda. Kegelisahan akan sirna jika hidup ini dijalani dengan kepasrahan kepada Budha. Laku hidup sesuai dengan ajaran damma dan dengan berjalan didalam sangha maka hidup akan menjadi lebih mudah untuk dijalani. Wujud perilaku dari pokok ajaran tersebut adalah hidup secara sederhana. Sang Budha mengajarkan cara hidup dengan menjauhkan diri dari segala bentuk kenikmatan dunia. Segala kenikmatan hidup yang sekedar untuk memperturutkan hawa nafsu beliau tinggalkan. Segala macam fasiitas istana sudah mulai ditinggal sejak beliau menempa diri untuk mendapatkan obat bagi rasa gelisahnya. Hak tahta sebagai putra mahkota beliau tinggalkan. Istri yang cantik dan setia beliau tinggalkan. Bahkan, segala ikatan yang ada yaitu keluarganya juga beliau tinggalkan. 

Meninggalkan semua hasrat duniawi, perilaku hidup macam apa itu? Kesederhanaan ataukah penyiksaan diri? Hal inipun sudah dipertanyakan sejak awal Sang Budha mulai mengajarkan ajarannya. Dari para murid pertama Sang Budha pola kederhanaan yang dijalankan oleh Sang Budha justru dianggap terlalu ringan. Sebenarnya, pola hidup sederhana yang diajarkan oleh Sang Budha berada pada takaran ditengah-tengah. Konsep ini didapatkan Sang Budha dari barisan penari ronggeng yang kebetulan melintas didekatnya. "Jika senar gitar ditarik kuat maka senar akan putus, tetapi jika terlalu kendor maka gitar tidak berbunyi, agar didapatkan nada yang indah senar ditarik tidak terlalu kuat ataupun terlalu kendor," begitulah percakapan diantara penari ronggeng. Percakapan tersebut memberikan inspirasi kepada Sang Budha mengenai batasan perilaku hidup sederhana. Jika terlalu kuat mengekangnya akan dapat menyiksa diri dan bahkan bisa berujung pada kematian. Sedangkan jika terlalu kendor maka hidup menjadi tanpa arah atau cenderung menjauhkan diri dari ketenangan hidup.

Penjelasan tentang hal ini juga bisa dipahami dengan ajaran dari Dewa Siwa. Dewa Siwa membagi pencapaian pertapaan dalam beberapa tingkatan. Seseorang yang telah dapat meninggalkan semua ikatan yang ada didunia dan meninggalkan kebutuhan jasmani bahkan seperti makan maka orang tersebut telah mencapai tingkatan tertinggi dari pertapaan. Hanya saja batasan sebagai manusia kebutuhan yang paling dasar seperti makan tidak bisa ditinggalkan oleh Sang Budha. Apa yang dijalankan oleh Sang Budha bisa dipandang sebagai penjelasan jalan pertapaan yang berbeda antara dewa dan manusia. Pencapaian pertapaan yang tertinggi tanpa meninggalkan batasan sebagai manusia adalah sesuatu yang bisa dilakukan. Jika dipandang dari sudut pandang islam, ada yang namanya islam, iman dan ihsan. Saat menjalani pertapaan dan sampai mendapatkan pencerahan hidup sejati maka yang diraih oleh Sang Budha adalah ihsan setingkat nabi. Hal ini juga merupakan pencapaian tertinggi sebagai manusia.

Keadaan yang terjadi saat itulah yang membuatnya terlahir didunia sebagai seorang pangeran. Sang Budha harus mengajarkan cara menjalani hidup secara sederhana. Jika Sang Budha terlahir sebagai seoarang rakyat jelata maka akan menjadi keraguan dari golongan bangsawan dan orang kaya. Keraguan bahwa ajaran kesederhanaan yang beliau sampaikan itu tidak dapat dilakukan oleh mereka. Mereka bisa beranggapan bahwa wajar jika rakyat jelata itu hidup seadanya, bahkan kesederhaan itu adalah suatu keberuntungan bagi rakyat jelata. Karena bagi rakyat jelata, bisa makan saja sudah untung. Tetapi dengan terlahirnya Sang Budha sebagai pangeran, maka hilanglah semua keraguan. Menjadi sempurnalah sebab akibat yang dijalaninya. Mulai dari kelahirannya saja Sang Budha telah memeberikan solusi terhadap apa yang kelak akan dihadapinya. Sebuah rangkaian sebab-akibat telah ditautkan dengan erat sekali. Lantas dimasa sekarang masih adakah yang meragukan ajaran kesederhanaan yang telah diajarkan oleh Sang Budha?

Sebagai contoh perilaku, Sang Budha Gautama benar-benar meninggalkan segala bentuk kenikmatan yang bersifat duniawi. Kehidupan istana yang serba ada beliau tinggalkan. Dari makan yang selalu lengkap tersedia, kapanpun ada bila mau, berubah hidup dengan hidup seadanya. Pangeran Sidharta mencukupi kebutuhan jasmaninya dari pemberian orang. Makan hanya dari pemberian orang, menggunakan baju bekas pembungkus mayat, jika diberikan baju yang baru justru diberikan kepada pengikutnya, sumbangan uang yang diterima hanya digunakan untuk membeli keperluan makan. 

Pada sebuah cerita, suatu ketika Sang Budha mengunjungi kota kelahirannya dan dapat bertemu ayahnya. Namun ayahnya lupa mengundang berkunjung keistana untuk makan. Pada kesepatan itu Sang Budha lebih memilih untuk meminta pemberian masyarakat bukannya pulang kerumah. Begitu hati-hatinya Sang Budha bertindak dan menjaga ajarannya. Hal ini tentu saja menghindarkan dirinya dan segenap pengikutnya dari fitnah. Fitnah bahwa Sang Budha masih menyukai kemewahan dengan pulang kerumah.

Mengapakah menjadi pengemis adalah sikap mulia? Bukankah pengemis itu sikap yang hina dina? Sebagaimana dalam Islam, Kanjeng nabi Muhammad sangat dan teramat sangat melarang untuk menjadi pengemis. Bahkan dalam Islam terdapat sebuah ajaran bahwa tangan diatas lebih baik daripada  tangan dibawah. Jika menggunakan pemahaman dalam realitas sekarang sesatkah ajaran yang mengajarkan untuk menjadi pengemis?

Tentang hal ini telah ada penjelasannya dari Sang Budha Gautama pada peristiwa pertemuannya dengan Resi Baratwaja. Sebuah dialog yang berkualitas karena dilakukan oleh dua orang yang mumpuni. Satu dari kasta brahmana yang berpengetahuan luas dan satunya lagi Sang Budha sendiri yang telah mencapai pencarahan hidup di tingkat yang tinggi. Saya tidak akan mengulas detail detail percakapan yang dilakukan waktu itu. Intinya adalah Sang Budha dapat memberikan penjelasan yang dapat diterima dengan rasa kagum oleh Sang Resi. Sampai-sampai Sang Resi minta dijadikan sebagai murid. Sang Budha memberkati Sang Brahmana sebagai muridnya. Kelak dari garis keturunan Sang Resi inilah terlahir Resi Drona, guru dari Kurawa dan Pandawa. Begitulah, kejadian lain akan terjadi sebaliknya. Jika yang kagum adalah golongan orang mumpuni maka yang tidak kagum dengan kejadian itu adalah golongan orang yang tidak berilmu. Singkatnya, menjalani hidup dengan menerima pemberian dari orang yang dilakukan oleh Sang Budha bukanlah sebuah jalan yang hina apalagi salah.
Agar tidak menimbulkan fitnah bahwa Ajaran Sang Budha tidak realistis maka saya coba pahami dengan cara yang lain. Sang Budha mengajarkan bahwa di dunia ini tidak akan terlepas dari hukum sebab-akibat. Sebagai orang suci Sang Budha memberikan belas kasih. Berupa ilmu keselamatan  dan juga ringan tangan untuk membantu menghilangkan penderitaan orang lain. Pemberian yang dilakukan oleh Sang Budha ini menjadikan masyarakat berhutang, karena terputusnya hubungan sebab-akibat atau hubungan timbal-balik. Bagaimanakah caranya masyarakat membayarnya jika Sang Budha sepenuhnya meninggalkan kebutuhan hidup sebagai manusia? Maka, tak ada yang bisa diberikan kepada Sang Budha. Tak ada jabatan yang lebih tinggi darinya, karena rajapun bersimpuh dihadapannya untuk meminta berkah. Tak ada wanita yang dapat diberikan padanya, wanita mana yang akan lebih pantas untuknya selain Yashodara? Tak ada juga harta yang layak untuk diterimanya sebagai kekayaan. Atas dasar inilah Sang Budha membuka pintu. Pintu yang memungkinkan terjadinya sebuah keseimbangan. Masyarakat menebus apa yang telah diterima Sang Budha. Sehingga yang terjadi adalah saling memberi. Dan, hubungan sebab-akibat yang terjalinpun tanpa cacat!

Setelah sekian lamanya berjalan, keadaan berubah. Pengemis bukan untuk menjalani kehidupan dasar atau melaluinya sebagai jalan kesederhanaan menuju pencerahan tetapi mengemis dijadikan sebagai profesi. Hal inilah yang dilarang oleh Kanjeng Nabi. Jadi jelaslah perbedaannya, Kanjeng Nabi Muhammad melarang profesi pengemis, tetapi tidak menyatakan apa yang dilakukan oleh Sang Budha adalah salah. 

Lantas, ajaran hidup yang diajarkan oleh Sang Budha untuk saat ini masih relevankah?
Saudaraku sekalian, Pikirkanlah!!!

(Bersambung...)